Waktu itu, setahun yang lalu atau tepatnya Senin 16 Maret 2020, saya berdiri di hadapan anak-anak, menjadi pembina upacara, sekaligus mengumumkan tentang keharusan mereka untuk belajar di rumah selama 14 hari, setelah sebelumnya ada pengumuman dari dinas tentang keharusan tersebut mengingat kasus positif covid-19 sudah merebak di Indonesia.
Namanya anak-anak, diumumkan
belajar di rumah, ada yang girang bertepuk tangan. Sontak saya mengingatkan,
bahwa anak-anak janganlah merasa gembira, karena belajar di rumah kali ini,
tidak sama dengan belajar di rumah jika ada kegiatan, bahkan tidak sama dengan
libur sekolah. Maksud belajar di rumah, adalah untuk menghindari menyebarnya
penyakit, untuk mengupayakan agar jangan ada yang kena virus. Untuk itu,
dimohon dengan sangat agar anak-anak benar-benar diam di rumah, jangan ke
mana-mana, jangan berkeliaran, agar benar-benar belajar di rumah, dan tetap
menjaga kesehatan dengan melaksanakan protokol keséhatan. Selanjutnya,
anak-anak langsung pulang, tak ada kegiatan belajar mengajar. Sekolah langsung
sepi, ibu-ibu pedagang di kantin saling bertanya, sebagian pedagang mengeluh
karena belum habis semua dagangan, namun anak-anak sudah pulang. Saya hanya
bisa minta maaf, tanpa bermaksud merugikan mereka yang sudah belanja dagangan
untuk seminggu kemudian, karena pengumuman itu juga sangat mendadak kami
terima.
Tak lama usai anak-anak pulang,
saya juga bergegas pulang, karena ternyata anak yang sedang di pesantren juga
minta dijemput, katanya semua santri juga disuruh pulang. Meluncurlah kami (saya
dan suami) ke Subang, tempat di mana anak saya menimba ilmu. Tahun itu adalah
tahun terakhir anak saya sekolah di Aliyah, setelah sebelumnya menempuh
pendidikan sejak kelas 1 tsanawiyah di pondok. Kami berkumpul di rumah.
Hari-hari dilewati bersama keluarga di rumah, tanpa bepergian ke manapun,
kecuali untuk hal yang sangat penting.
Hari terlewati, minggu berlalu. Setelah
14 hari, ternyata ada pengumuman bahwa belajar di rumah diperpanjang, mengingat
kasus covid bukannya menghilang, tapi malah bertambah. Dan perpanjangan belajar
di rumah itu berulang kali dilakukan, hingga anak-anak yang duduk di kelas
akhir terpaksa tidak ada ujian, tidak ada UN, dan tidak ada selebrasi
kelulusan. Selanjutnya, kami guru-guru harus melakukan pembelajaran dari jarak
jauh, anak-anak harus belajar dari rumah sampai sekarang.
Kini, setahun sudah waktu
berlalu. Begitu banyak hal yang terjadi. Keluhan anak-anak yang bosan belajar
di rumah, pusingnya orang tua memberikan pembelajaran, rindu murid pada guru,
kangen guru pada siswa, semua dirasakan. Dan setelah setahun menunggu, kami
harus terus menahan sabar, mengingat sampai saat ini masih belum diperkenankan
tatap muka, karena ternyata, corona masih belum beranjak.
Ach, Tuhan …
sampai kapankah kami harus
begini?
Rindu ini demikian menggebu
Kangen ini semakin membuncah
Meski ada PJJ yang memberi ruang
pada kami untuk bisa tatap maya,
Namun rindu untuk bertemu, tetap
menghantui.
Tuhan, enyahkanlah segera korona
dari muka bumi
Agar kami bisa secepatnya bertemu
Bersama semua anak didik yang kucinta
Aamiin.
Bekasi, 16 Maret 2021
#NH
0 Komentar